Banteng Indonesia sudah diimpor Jepang untuk menunjang riset sapi mereka. Banteng liar yang tersebar di sejumlah pulau besar di Indonesia itu diteliti untuk mencari peluang penyilangan terhadap sapi konsumsi Jepang supaya sapi yang dihasilkan di kemudian hari lebih tahan cuaca panas.
Inspirasi ini dipicu gejala peningkatan suhu akibat pemanasan global yang menerpa dan menyebabkan perubahan iklim di Jepang. Usaha kreatif, tidak seperti bangsa kita yang lebih suka berkeluh kesah, seperti tatkala menghadapi kebuntuan dari sebuah Konferensi Kerangka Kerja untuk Perubahan Iklim PBB (UNFCCC), yang berlangsung di Kopenhagen, Denmark, baru-baru ini.
Jepang menyadari betul dampak perubahan iklim. Dan, Jepang hanya membutuhkan kerja keras untuk menghadapi perubahan iklim.
Soal impor banteng dari Indonesia oleh Jepang ini diungkapkan Thomas Darmawan selaku anggota Tim Penilai Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas) Kementerian Negara Riset dan Teknologi periode 2000-2009 saat paparan hasil Rusnas itu, 30 Desember 2009.
”Impor banteng oleh Jepang itu bukan untuk pertunjukan, tetapi untuk pengembangan industri sapi. Lagi-lagi ini menunjukkan keunggulan Jepang dalam hal riset,” ujar Thomas.
Dalam 100 tahun terakhir kenaikan suhu rata-rata di Jepang, menurut Thomas, dikhawatirkan melampaui empat derajat celsius. Ini dikhawatirkan pula berdampak pada gangguan industri sapi Jepang yang kurang tahan panas.
Secara terpisah, peneliti senior bidang reproduksi ternak pada Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syahruddin Said, mengatakan, sapi Jepang yang disebut wagyu itu memiliki kualitas daging yang tergolong paling baik. Namun, daya tahan ternak sapinya kurang terhadap cuaca panas.
”Banteng sebagai sapi liar dari wilayah tropis seperti Indonesia bisa menjadi paling bagus jika dikawinsilangkan untuk menghasilkan sapi Jepang supaya lebih tahan cuaca panas,” ujar Syahruddin.
Kepala Bidang Biologi Sel dan Jaringan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Puspita Lisdiyanti menambahkan, rekayasa genetika dengan mengambil gen ketahanan terhadap cuaca panas pada banteng untuk diekspresikan ke dalam tubuh sapi Jepang itu lebih memungkinkan.
”Hasilnya akan jauh lebih cepat untuk menghasilkan turunan sapi Jepang yang lebih tahan cuaca panas,” kata Puspita.
Mastitis
Thomas menyebutkan, agenda Rusnas 2000-2009 belum sepenuhnya bisa disebut sebagai riset unggulan strategis nasional. Produk Rusnas Pengembangan Industri Sapi meliputi tiga hal, yaitu produk kaplet herbal (makanan tambahan untuk kesehatan sapi), kit mastitis subklinis (alat uji kualitas susu sapi perah), dan peranti lunak Srepsi (Sistem Rekording dan Evaluasi Performans Sapi Potong Indonesia).
Hasil riset kaplet herbal statusnya dalam proses paten. Begitu pula kit mastitis subklinisnya sedang dalam proses paten. Adapun peranti lunak Srepsi sudah berjalan penerapannya.
Menurut Thomas, produk Rusnas Pengembangan Industri Sapi itu kurang memenuhi standar. Ia mengambil contoh produk riset kit mastitis subklinis.
”Kit mastitis subklinis sudah ada sejak zaman Belanda. Mengapa riset itu yang diunggulkan?” kata Thomas.
Mastitis merupakan penyakit infeksi paling sering terjadi pada sapi perah. Mastitis merupakan penyebab kerugian ekonomi terbesar bagi peternakan sapi perah di dunia.
”Semestinya riset yang sekelas atau mendekati sama dengan yang dilakukan Jepang,” kata Thomas.
Rp 124 miliar
Menteri Negara Riset dan Teknologi Suharna Surapranata dalam peluncuran buku Rusnas, Riset Unggulan Strategis Nasional dalam Realitas Kurun Waktu 2000-2009 menyebutkan, alokasi dana Rusnas sebesar Rp 124 miliar untuk tiga periode. Periode 2000-2009 meliputi pengembangan buah tropis oleh Pusat Kajian Buah-buahan Tropika Institut Pertanian Bogor (IPB), pengembangan teknologi informatika dan mikroelektronika oleh Pusat Mikroelektronika Institut Teknologi Bandung, serta pengembangan teknologi kelautan-budidaya ikan kerapu oleh BPPT.
Periode 2002-2009 mencakup pengembangan industri kelapa sawit oleh South East Asian Food and Agricultural Science and Technology (Seafast) Center IPB bekerja sama dengan Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (Maksi) Bogor. Diversifikasi pangan pokok oleh Pusat Studi Pangan dan Gizi pada Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB. Pengembangan engine (mesin) aluminium paduan oleh Pusat Teknologi Material BPPT.
Periode 2006-2009 meliputi pengembangan energi baru dan terbarukan oleh Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Palembang, dan pengembangan industri sapi oleh Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.
Deputi Bidang Pengembangan Sistem Iptek Nasional Kementerian Negara Riset dan Teknologi Amin Soebandrio mengatakan, agenda Rusnas sepenuhnya ditetapkan secara top down.
Riset unggulan dengan hasil ala kadarnya tentu bukan hal yang diharapkan. Perubahan iklim, misalnya, semestinya menjadi ladang inspirasi bagi pengembangan riset unggul dan strategis secara nasional.
Nawa Tunggal
Kompas, 6 Januari 2010
» Kontak : P2 Bioteknologi
0 komentar:
Posting Komentar